Jual Kopi Bubuk Lebih Untung
LIWA, KOMPAS.com - Sebagian petani kopi di Kabupaten Lampung Barat mulai memproduksi kopi bubuk karena lebih menguntungkan daripada menjual kopi bijian. "Saya mulai membuat kopi bubuk, walaupun tidak terlalu banyak, tetapi hasil penjualannya lebih menguntungkan," kata petani kopi, Nasir, di Pekon Pagar Dewa, Kecamatan Sukau Kabupaten Lampung Barat, sekitar 282 km sebelah barat Bandarlampung, Senin (16/8/2010).Dia menjelaskan, harga kopi kering kian merosot sehingga mendorong petani mengolahnya menjadi kopi bubuk. "Alasan harga yang membuat petani membuat kopi bubuk, karena lebih menguntungkan daripada menjual kopi bijian," kata dia lagi. Ia mengatakan separuh hasil panennya diolah menjadi kopi bubuk, yang dijual ke sejumlah pasar di Lampung. "Bila saya menjual kopi biji, jelas pendapatan saya akan berkurang,"katanya.
Menurut dia, hasil penjualan kopi bubuk itu mampu membiayai perawatan tanaman kopi dan mencukupi kebutuhan keluarganya.Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat menyebutkan luas lahan tanaman kopi di daerah itu mencapai 60.347 ha.Saat ini harga kopi kering di tingkat agen mencapai Rp 10.000 per kilogram, sedangkan harga kopi bubuk di pasaran mencapai Rp 35.000/kg.Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Bina Produksi Dinas Perkebunan Kabupaten Lampung Barat, Agustam Basmar, mengatakan industri kopi bubuk mampu mendongkrak pendapatan dan perekonomian petani."Harga kopi bubuk dan kopi biji jauh berbeda, ini menjadi peluang bagi petani untuk mengembangkan usaha kopi bubuk," katanya. Berkaitan itu, ia meminta petani harus menjaga mutu kopi bubuknya. "Agar penjualan kopi tetap stabil, petani harus menjaga kualitas kopi bubuk, baik penjemuran juga pengolahan, sehingga kualitas kopi dapat terjaga yang nantinya omzet penjualan kopi terus stabil," kata Agustam.
Nongkrong di Kota Tua, Nikmati Makanan Legendaris di Kafe
AKARTA, KOMPAS.com — Nongkrong di kawasan Kota Tua, Jakarta, bisa menjadi hal yang mengasyikkan. Pengunjung tidak saja bisa menikmati museum dan bangunan-bangunan tua, tetapi juga bisa bersantai di kafe sambil menikmati makanan dan minuman yang cukup legendaris di Jakarta.
Siang menjelang sore, suhu udara di kawasan Kota Tua terasa tidak bersahabat. Embusan angin tidak terasa. Namun, hiruk pikuk di seputaran Museum Fatahillah seolah tidak peduli dengan hal itu. Jika tidak kuat dengan panasnya matahari, coba saja masuk ke kawasan Gazebo Cafe. Meski bentuknya kafe, makanan yang dijual merupakan makanan tradisional dan kaki lima yang sudah melegenda.
Tempatnya agak tersembunyi. Kalau mata tidak awas, bisa terlewat kafe itu. Namun, sebenarnya mudah juga menemukan kafe itu. Kafe itu berada di seberang Museum Fatahillah, tetapi tertutup bangunan dari Kafe Batavia.
Memasuki kompleks Gazebo Cafe, pengunjung dibuat terpana. Meski tempatnya agak tersembunyi, lahan di dalamnya cukup luas dan suasana kafe terbuka langsung terlihat. Memang belum terlalu ramai dan sedikit agak gersang, kurang ada pepohonan dan tanaman. Namun dengan keberadaan kolam di sisi kafe, membuat suasana jadi segar.
Memasuki kompleks Gazebo Cafe, pengunjung dibuat terpana. Meski tempatnya agak tersembunyi, lahan di dalamnya cukup luas dan suasana kafe terbuka langsung terlihat. Memang belum terlalu ramai dan sedikit agak gersang, kurang ada pepohonan dan tanaman. Namun dengan keberadaan kolam di sisi kafe, membuat suasana jadi segar.
Kafe itu ada dua lantai, tetapi yang berfungsi sempurna baru lantai dasar. Pengunjung bisa memilih tempat di mana saja karena dari situ makanan apa pun bisa dipesan tanpa harus mendatangi kiosnya. Meski ingin memadukan antara makanan kafe dan makanan tradisional kaki lima, sang pemilik kafe, Marshall Pribadi, juga tidak mau sembarangan memasukkan makanan kali lima ke sana.
"Kami pilih betul, mana yang bisa masuk dan kami terima. Saya maunya ya makanan yang tradisional atau legendaris, seperti ragusa dan dudung roxi. Jadi sesuai dengan kawasan. Soal harga masih bisa terjangkau," ujar mahasiswa Fakultas Ekonomi dari Universitas Indonesia ini.
Marshall menambahkan, keseluruhannya ada 10 penyewa yang menempati Gazebo Cafe, antara lain Ragusa Es Krim & Restoran, Sop Kaki Kambing Dudung Roxi, Sate Padang Murni Cikini, Dapur Mama Wing Sriwing, Mie Kepang, dan Pizza Gendeng. Selain itu, ada juga Piring Panas, Es Campur Sinar Garut, Dimsum Menteng, Gado-gado Ngawi, Soto Ngawi, Angkring Margonda Depok, dan Bandar Kopi.
Bagi penggemar kopi yang belum pernah merasakan kopi lokal dari sejumlah daerah, di Bandar Kopi bisa dicicipi kopi aceh, kopi wamena, kopi flores, kopi mandailing, kopi jawa, kopi toraja, kopi lintong, dan masih banyak lagi. Harganya Rp 21.000-Rp 23.000.
Di sini pengunjung juga bisa mencicipi Es Sinar Garut dari Jalan Patekoan yang sekarang menjadi Jalan Perniagaan, Jakarta Barat. Yang paling favorit di tempat ini adalah es campur dan es alpukat. Keistimewaan dari es alpukatnya adalah dibuat dari buah alpukat yang dikerok daging buahnya secara dadakan. Begitu juga dengan es campurnya, semua bahan-bahannya masih segar sehingga menambah nikmat cita rasanya.
Sate Padang Murni juga patut dicoba. Pasalnya sate ini pernah mendapat juara pertama sebagai sate padang terenak dalam acara silaturahim keluarga Padang Pariaman tahun 2006 di Jakarta. Ada empat pilihan sate, yakni daging, lidah, jantung, dan usus sapi. Bumbunya yang kental sangat terasa karena dibuat dari 27 macam bumbu. Seporsinya Rp 18.000-Rp 20.000.
Mirip "foodcourt"
Bisa dibilang tempat ini mirip foodcourt di pusat perbelanjaan. Namun, layanannya seperti di kafe. Pihak penyelenggara menyediakan pelayan (waiter) dan tempat untuk cuci piring bagi para penyewa. Lokasi kafe yang terletak di kawasan Kota Tua, tepatnya di Jalan Kunir, Tamansari, Jakarta Barat, dinilai menjadi pilihan tepat. Hal itu sesuai dengan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencanangkan Kota Tua sebagai world class tourism destination. Menurut Marshall, pihaknya sengaja memilih kawasan Kota Tua karena sebagai wujud dukungannya atas rencana Pemprov DKI.
Selain itu, Gazebo Cafe juga menyediakan fasilitas seperti live music, dance floor, biliar, foto studio, toko baju, salon, souvenir shop, dan travel agent. Pernik-pernik yang dijual di souvenir shop lebih banyak mengacu pada Kota Jakarta, seperti ondel-ondel dan Monas.
Bisa dibilang tempat ini mirip foodcourt di pusat perbelanjaan. Namun, layanannya seperti di kafe. Pihak penyelenggara menyediakan pelayan (waiter) dan tempat untuk cuci piring bagi para penyewa. Lokasi kafe yang terletak di kawasan Kota Tua, tepatnya di Jalan Kunir, Tamansari, Jakarta Barat, dinilai menjadi pilihan tepat. Hal itu sesuai dengan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang mencanangkan Kota Tua sebagai world class tourism destination. Menurut Marshall, pihaknya sengaja memilih kawasan Kota Tua karena sebagai wujud dukungannya atas rencana Pemprov DKI.
Selain itu, Gazebo Cafe juga menyediakan fasilitas seperti live music, dance floor, biliar, foto studio, toko baju, salon, souvenir shop, dan travel agent. Pernik-pernik yang dijual di souvenir shop lebih banyak mengacu pada Kota Jakarta, seperti ondel-ondel dan Monas.
"Pokoknya, harga yang kami tawarkan dijamin tidak merobek kocek. Istilah kata, rasa bintang lima, harga kaki lima, serta makanan kami dijamin halal," ujarnya. Bagi pengunjung yang ingin rileks sehabis berjalan-jalan di Kota Tua, tempat ini juga akan dilengkapi dengan pijat refleksi. Nantinya di tempat itu juga akan sering diadakan nonton bareng sepak bola.
Sebenarnya, pengadaan layar proyektor yang cukup besar itu tak hanya digunakan untuk nonton bola, tetapi juga nonton film, misalnya nonton film kuno, film dokumenter tentang Batavia, atau yang berbau sejarah lainnya.
Sementara pada lantai atas masih ada tempat yang kosong. Baru satu tempat di pojokan yang diisi Ragusa. Uniknya, beberapa bagian tembok dilukis dengan suasana seperti tempo dulu. Marshall menuturkan, ke depan, tempat tersebut akan diisi dengan galeri seni yang akan diisi para seniman muda yang menjual aneka ragam barang-barang seni.
Sementara pada lantai atas masih ada tempat yang kosong. Baru satu tempat di pojokan yang diisi Ragusa. Uniknya, beberapa bagian tembok dilukis dengan suasana seperti tempo dulu. Marshall menuturkan, ke depan, tempat tersebut akan diisi dengan galeri seni yang akan diisi para seniman muda yang menjual aneka ragam barang-barang seni.
Kopi-Cakwe dari Tak Kie, Kit Cong Kie, sampai Kaus Kaki
cara pembuatan kopi cakwe |
KOMPAS.com — "Ngopi, yuk!" Ajakan seperti ini berseliweran setiap hari. Biasanya, ajakan ini bermakna kongko-kongko. Tempatnya? Lagi-lagi seperti biasa, kawanan penyeruput kopi ini memilih tempat berpendingin udara. Kedai kopi franchise jentrek-jentrek tak terhitung di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Mereka menyebar baik di mal, plasa, ataupun di kawasan perkantoran.
Waralaba warung kopi makin sesak di Jakarta karena pasar yang menggiurkan. Tengok saja ke beberapa kedai asal Pakde Sam itu, meski harga segelas kopi dengan berbagai cita rasa itu minimal hampir sama dengan sekitar 4-5 gelas kopi/kopi susu panas, es kopi/kopi susu di kedai-kedai tradisional, pembeli seperti tak peduli. Barangkali gengsi juga terbeli di sana. Padahal, Indonesia penghasil kopi arabika dan robusta terbesar keempat di dunia.
Untunglah penggemar kopi Indonesia yang masih percaya, kongko-kongko sambil minum kopi di warung kopi tradisional jauh lebih nikmat, tak perlu gusar. Pasalnya, warung kopi turun temurun di kawasan Pancoran, Jakarta Barat, masih bertahan di antara gempuran mal, plasa, beserta kedai kopi ala bule tadi.
Sayangnya, warung-warung kopi di sini tak lagi buka di atas pukul 17.00. Alasan klasik, setelah kerusuhan 1998, kawasan ini makin sepi khususnya di malam hari. Padahal, potensi kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner sungguh luar biasa.
Kembali ke soal ngopi, di Gang Gloria, Pancoran, siapa tak kenal Warung Kopi Tak Kie. Warung ini ada di antara tumpukan pedagang lain di sisi kiri dan kanan gang tersebut. Dengan hanya Rp 7.000, segelas es kopi bisa Anda nikmati. Es kopi ini bisa jadi teman ngobrol yang tak kalah segarnya dengan ”kopi bule”. Kedai kopi ini beserta es kopi-nya sudah turun temurun menyemarakkan kawasan tersebut. Kopi Lampung jadi bahan utama segelas kopi tradisional itu.
Mencari kopi tak hanya di Tak Kie. Melangkahlah lebih ke dalam. Jika Anda melihat tanda Cakwe Hokian, nah, di situ pula warung kopi tradisional lainnya berada. Tak seperti Tak Kie, di warung ini tak terlihat nama. Anton Sinarto, si pemilik warung, menyebut warungnya Sederhana meski orang di kawasan itu mengenal warung itu sebagai Kit Cong Kie.
Sebagai warung kopi tradisional, Anton pun sudah siap melayani pembeli atau siapa pun yang ingin sekadar kongko-kongko sambil makan pagi di kawasan ini sejak pukul 05.00 pagi. Anda bisa pilih es kopi, kopi panas, atau kopi susu. Rasanya pas. Di sini pula Anton memberi tahu Warta Kota untuk menikmati kopi susu dengan sentuhan cakwe. Hah?! Ya, cakwe.
”Dicelup aja, terus dimakan. Coba deh. Enak,” begitu Anton membujuk. Dan, memang, sensasi baru minum kopi dan makan cakwe pun terjadi di dalam mulut. Cakwe milik Ibu Lily ini pun sudah beredar di kawasan ini lebih dari 27 tahun lalu.
Menurut Anton, minum kopi atau kopi susu sambil makan cakwe sudah jadi kebiasaan di kawasan itu. ”Seperti teman minum kopi, gitu. Murah meriah, pula,” tambah Anton yang didampingi sang istri, Cendrawati Goutama.
Bapak dua putra ini melanjutkan usaha kedai kopi ini sejak 1980-an. ”Tapi warung ini sudah ada sejak Belanda masih ada,” lanjutnya, sekitar 1928 pun warung ini diperkirakan sudah ada dan masih menggunakan kopi Lampung hingga kini.
Kedai kopi tak berhenti sampai di sini sebab masuk lebih ke dalam lagi, ke arah dekat Toko Kawi, Anda bisa temui kopi kaus kaki. Tenang dulu, ini bukan sembarang kaus kaki. Kopi di sini disaring dengan penyaring yang mirip kaos kaki. Jadi, begitu disajikan, kopi ini sudah tanpa ampas. ”Kelebihan lain, kopi di sini disajikan di cangkir keramik yang bikin panasnya awet,” ujar Akiong, si pemilik kedai. Cangkir tadi harus dibeli di Singapura. Tapi tak usah khawatir, harga kopi di sini masih sangat rasional. Meski cangkir dari Singapura, tapi harga tetap warung kopi Indonesia.
Perihal cakwe sebagai teman kopi, Akiong membenarkan hal itu sebagai kebiasaan warga keturunan Tionghoa di kawasan itu. ”Dari dulu orang di sini emang kalau minum kopi pakai cakwe.”
Waralaba warung kopi makin sesak di Jakarta karena pasar yang menggiurkan. Tengok saja ke beberapa kedai asal Pakde Sam itu, meski harga segelas kopi dengan berbagai cita rasa itu minimal hampir sama dengan sekitar 4-5 gelas kopi/kopi susu panas, es kopi/kopi susu di kedai-kedai tradisional, pembeli seperti tak peduli. Barangkali gengsi juga terbeli di sana. Padahal, Indonesia penghasil kopi arabika dan robusta terbesar keempat di dunia.
Untunglah penggemar kopi Indonesia yang masih percaya, kongko-kongko sambil minum kopi di warung kopi tradisional jauh lebih nikmat, tak perlu gusar. Pasalnya, warung kopi turun temurun di kawasan Pancoran, Jakarta Barat, masih bertahan di antara gempuran mal, plasa, beserta kedai kopi ala bule tadi.
Sayangnya, warung-warung kopi di sini tak lagi buka di atas pukul 17.00. Alasan klasik, setelah kerusuhan 1998, kawasan ini makin sepi khususnya di malam hari. Padahal, potensi kawasan ini sebagai kawasan wisata kuliner sungguh luar biasa.
Kembali ke soal ngopi, di Gang Gloria, Pancoran, siapa tak kenal Warung Kopi Tak Kie. Warung ini ada di antara tumpukan pedagang lain di sisi kiri dan kanan gang tersebut. Dengan hanya Rp 7.000, segelas es kopi bisa Anda nikmati. Es kopi ini bisa jadi teman ngobrol yang tak kalah segarnya dengan ”kopi bule”. Kedai kopi ini beserta es kopi-nya sudah turun temurun menyemarakkan kawasan tersebut. Kopi Lampung jadi bahan utama segelas kopi tradisional itu.
Mencari kopi tak hanya di Tak Kie. Melangkahlah lebih ke dalam. Jika Anda melihat tanda Cakwe Hokian, nah, di situ pula warung kopi tradisional lainnya berada. Tak seperti Tak Kie, di warung ini tak terlihat nama. Anton Sinarto, si pemilik warung, menyebut warungnya Sederhana meski orang di kawasan itu mengenal warung itu sebagai Kit Cong Kie.
Sebagai warung kopi tradisional, Anton pun sudah siap melayani pembeli atau siapa pun yang ingin sekadar kongko-kongko sambil makan pagi di kawasan ini sejak pukul 05.00 pagi. Anda bisa pilih es kopi, kopi panas, atau kopi susu. Rasanya pas. Di sini pula Anton memberi tahu Warta Kota untuk menikmati kopi susu dengan sentuhan cakwe. Hah?! Ya, cakwe.
”Dicelup aja, terus dimakan. Coba deh. Enak,” begitu Anton membujuk. Dan, memang, sensasi baru minum kopi dan makan cakwe pun terjadi di dalam mulut. Cakwe milik Ibu Lily ini pun sudah beredar di kawasan ini lebih dari 27 tahun lalu.
Menurut Anton, minum kopi atau kopi susu sambil makan cakwe sudah jadi kebiasaan di kawasan itu. ”Seperti teman minum kopi, gitu. Murah meriah, pula,” tambah Anton yang didampingi sang istri, Cendrawati Goutama.
Bapak dua putra ini melanjutkan usaha kedai kopi ini sejak 1980-an. ”Tapi warung ini sudah ada sejak Belanda masih ada,” lanjutnya, sekitar 1928 pun warung ini diperkirakan sudah ada dan masih menggunakan kopi Lampung hingga kini.
Kedai kopi tak berhenti sampai di sini sebab masuk lebih ke dalam lagi, ke arah dekat Toko Kawi, Anda bisa temui kopi kaus kaki. Tenang dulu, ini bukan sembarang kaus kaki. Kopi di sini disaring dengan penyaring yang mirip kaos kaki. Jadi, begitu disajikan, kopi ini sudah tanpa ampas. ”Kelebihan lain, kopi di sini disajikan di cangkir keramik yang bikin panasnya awet,” ujar Akiong, si pemilik kedai. Cangkir tadi harus dibeli di Singapura. Tapi tak usah khawatir, harga kopi di sini masih sangat rasional. Meski cangkir dari Singapura, tapi harga tetap warung kopi Indonesia.
Perihal cakwe sebagai teman kopi, Akiong membenarkan hal itu sebagai kebiasaan warga keturunan Tionghoa di kawasan itu. ”Dari dulu orang di sini emang kalau minum kopi pakai cakwe.”
Comments
Post a Comment