CIUMAN BERAROMA KOPI ITU...
Perang dimulai, lagi-lagi Koko membuat Rena sangat marah.
“Berangkat pagi, pulang subuh. Mending kalau kamu bawa uang yang banyak, eh malah bau alkohol. Belum lagi bau keringatmu seharian bikin aku mau muntah aja. Ko, sadar dong, kamu kan tahu aku sedang mengandung, please kali ini aja, kamu nyenengin aku”, omel Rena sambil memunguti baju kotor suaminya yang tercecer di lantai.
“Ah, sudahlah, segitu marahnya. Kemarin ada yang dapat lotre di pangkalan, lalu traktiran. Wajar dong aku ikut bersenang-senang sejenak, toh aku masih pulang” jawab Koko santai.
Pasangan muda itu memang sering ribut. Tapi selalu saja Koko mampu mengimbangi istrinya dengan gayanya yang santai.
“Kamu selalu saja begitu, ada aja alasanmu. Terserah, aku nggak mau lagi nunggu kamu semalaman. Aku ini istrimu, bukan satpam, tahu”.
“Wah, masakanmu selalu lezat, kamu memang istri yang hebat”, puji Koko tanpa menggubris kemarahan Rena.
Rena tampak dongkol, tapi akhirnya ia tetap melayani Koko meskipun omelan panjang pendek masih menghiasi mulutnya. Diseduhnya kopi kesukaan Koko, dan diletakkannya di meja makan.
“Kalau sampai anak ini lahir, kamu masih nggak punya tabungan, awas ya. Kamu tahu, aku selama ini nggak minta apa-apa. Tapi tolong dong, uang itu jangan kamu pakai judi lagi. Meskipun kamu menang, aku nggak mau keluarga ini makan uang haram. Kamu....” ancaman Rena terhenti. Koko yang sudah menyelesaikan sarapannya mendadak mendekati Rena dan mengecup bibirnya.
“Aku berangkat dulu, doakan aku ya sayang,” pamit Koko.
Seperginya Koko, Rena tampak termenung sendiri. Sambil membenahi meja makan, dirabanya bibir yang terasa masih hangat oleh kecupan suaminya. Ia teringat perjalanan cintanya dengan Koko. Pernikahan mereka memang tidak sepenuhnya mendapat restu keluarga Rena, karena kebiasaan Koko yang suka judi dan mabuk-mabukan. Terlepas dari kebiasaan buruknya, Koko sangat baik dan tahu cara memperlakukan wanita. Tapi bukan berarti ia mata keranjang. Dan ketika mereka akan menikah, Koko berjanji akan mengubah kebiasaan buruknya.
Meski kenyataannya, sampai saat ini janji itu selalu meleset. Rena berusaha bertahan. Ia memang punya kelemahan. Kemarahannya akan segera sirna setelah kecupan dari Koko mendarat di bibirnya. Dan Rena sendiri tak kuasa menolaknya. Ia sangat menyukai ciuman-ciuman dari Koko yang berbaur aroma khas kopi.
Rena terpekur memandangi perutnya yang kian membuncit. Dengan perasaan trenyuh dielusnya perut itu.
“Kurang dua bulan lagi sayang, sabar ya. Ayahmu pasti senang dan kamu akan membantu ibu untuk membantunya melupakan kebiasaannya.”
Tapi, kejadian pagi ini terulang kembali esok harinya. Kali ini tampaknya lebih parah. Kecemburuan Rena meledak saat ia mencium wangi parfum wanita lain menempel di seragam kerja Koko.
“Ko, apa ini, bau parfum ya. Heh pasti kamu mulai main perempuan. Bagus ya, nambah lagi daftar hitam kelakuan burukmu.”
Koko tampak tak peduli, ia melewati Rena dan menuju ke dapur.
“Ko...Koko dengar dulu, kamu mau kemana, jawab dulu pertanyaanku. Benar kan kamu main perempuan? Dasar Bajingan”, serang Rena sambil melempar suaminya dengan sprei kotor.
Koko tetap diam. Diambilnya termos dan dengan santai ia menyeduh kopi instan sendiri. Biasanya Rena lah yang selalu menyeduhkan kopi untuk Koko usai menghidangkan sarapan. Rena semakin panas melihat ketidakpedulian Koko. Diambilnya panci yang ada di dekatnya. Tapi sebelum benda itu sempat melayang, Koko mendekatinya.
“Nggak baik orang hamil marah-marah melulu. Kasihan anak kita. Nanti bisa nular lho. Jadinya waktu dia lahir sudah ngomel-ngomel, ha...ha...ha...” kelakar Koko.
Rena cemberut mendengar lelucon suaminya. Tapi ia tak tahan juga untuk tersenyum meskipun disembunyikannya. Rena berusaha memamerkan tampang marahnya kembali.
“Jangan bercanda, nggak lucu tahu. Kalau nggak pingin anaknya lahir cerewet, ya jangan bikin gara-gara. Lagi pula kamu belum jawab pertanyaanku”.
“Pertanyaan yang mana sih?” tanya Koko sambil tetap tersenyum.
“Ya tentang perempuan itu, yang parfumnya nempel di bajumu”.
“Ampun, kamu ini. Sehari nggak ngomel kenapa sih. Aku kan sudah nggak mabuk, nggak pulang subuh masih diomeli. Eh malah sekarang dicurigai main serong. Maumu apa sih Ren?”
“Mauku kamu jujur” serang Rena dengan nada ketus.
“Jujur tentang apa?”
“Tentang selingkuhanmu itu”.
“Kamu mau tahu selingkuhanku? Nih aku tunjukkan ya. Lihat baik-baik”.
Dan tanpa Rena sempat mengelak, lagi-lagi Koko mendaratkan ciuman mautnya di bibir Rena. Bau kopi khas yang memancar dari bibir Koko pun terhirup hidung Rena. Dan bisa ditebak, Rena pun kalang kabut. “Kamu....”
Serangan telak itu berhasil membungkam Rena.
“Kamu apa? Nah, sudah tahu kan siapa selingkuhanku” kata Koko polos sambil meninggalkan Rena sendiri mematung.
Malamnya, Koko sudah tertidur pulas disebelah Rena. Tapi, mata Rena tak juga bisa terpejam. Andai saja ciuman Koko bisa dihindarinya, batin Rena menyesali kelemahannya sendiri.
Rena ingin sekali menghilangkan kecemburuannya. Tetapi ia teringat dengan ucapan Bu Bambang tetangganya. Siang tadi waktu suaminya sudah berangkat kerja, Bu Bambang yang baru dari pasar berkunjung ke rumahnya. Dan setelah sedikit berbasa-basi, tetangganya itu bercerita bahwa ia melihat Koko mengantar seorang wanita yang cantik dan berkelas.
“Jeng, saya heran lho. Tadi saya melihat mas Koko di supermarket depan pasar menggandeng seorang wanita. Mesra lagi”.
“Masak sih bu, apa Bu Bambang nggak salah lihat?” tanya Rena dengan hati berdebar cemburu.
“Saya ini meski sudah tua, mata masih awas lho. Tapi sudahlah, saya nggak berniat membuat jeng Rena cemburu. Ya mungkin saja saya salah lihat. Permisi dulu ya jeng”, pamit Bu Bambang.
Rena ingin sekali menyangkal perkataan tetangganya itu. Tapi reputasi Bu Bambang yang terkenal jujur dan tidak suka bergosip membuatnya sedikit banyak mempercayai perkataan tetangganya itu.
“Aku harus membuktikannya”, tekad Rena dalam hati.
Keesokan harinya seperti biasa Koko berangkat kerja. Sebagai sopir taksi, ia sudah terbiasa bekerja keras untuk menghidupi rumah tangganya. Dan ia cukup bersyukur mendapatkan istri seperti Rena yang tidak banyak menuntut.
Sepeninggal suaminya, Rena tengah bersiap-siap. Diambilnya kerudung yang cukup besar untuk menutupi wajahnya. Melihat penampilannya di kaca, ia merasa geli sendiri. Rena merasa sudah seperti detektif wanita berperut buncit.
Di pasar, Rena bersembunyi di pojok toko yang persis menghadap ke supermarket itu. Ia berharap dapat membuka kedok Koko hari ini.
Ternyata, apa yang ditunggunya tidak datang juga. Karena matahari siang itu cukup terik, keringat Rena mengucur deras. Tiba-tiba ia merasa perutnya mual dan kepalanya pening. Sangat pening, dan bruk....semuanya menjadi gelap.
“Dimana saya.....” ucap Rena begitu tersadar. Rupanya Rena pingsan cukup lama. Untung di pasar tadi ada Bu Bambang yang menolongnya dan membawanya pulang.
Bu Bambang yang sedari tadi menungguinya akhirnya pamit pulang usai melihat Koko bergegas masuk rumah.
“Perempuan bodoh, apa yang kamu lakukan di pasar panas-panas begini?” tanya Koko jengkel sekaligus khawatir.
Rena diam saja. Ia merasa tak enak hati melihat kekhawatiran di wajah suaminya.
“Sudah, nggak usah berlagak tak bersalah. Aku tahu kamu membuntutiku. Bu Bambang tadi cerita waktu menelpon aku. Dasar wanita tua, sudah tahu kaca matanya kemarin lupa dibawa, eh malah cerita yang nggak karuan. Memang, kemarin aku mengantar langgananku ke supermarket dekat pasar itu. Tapi yang menggandeng perempuan itu bukan aku, melainkan suaminya. Aku sih duduk-duduk santai di dalam mobil” jelas Koko sambil menyeka dahi Rena yang masih berkeringat.
“Tapi, bau parfum di pakaianmu itu...” Rena tak melanjutkan ucapannya.
“Oh, kalau parfum itu memang kepunyaan pelangganku. Tapi, ia membelikannya untukmu. Kemarin aku iseng mencobanya, pingin tahu aroma harumnya saja. Aku belum sempat memberikannya padamu, kamu sudah keburu cemburu. Huh, tahu begini kujual saja parfum mahal itu kemarin. Biar kamu seumur-umur nggak bisa ngerasain parfum mahal”, cerocos Koko sambil pura-pura marah.
Rena tampak terkejut, dan merasa malu sekaligus geli. Rena malu karena sudah menuduh Koko main perempuan tanpa bukti. Dan ia juga merasa geli karena baru kali ini ia melihat Koko mengomel panjang lebar.
Saat dilihatnya Koko hendak memulai omelannya lagi, dirangkulnya leher Koko, kemudian dikecupnya bibir suaminya, lama....dan lama sekali. Kali ini, tak ada aroma kopi di bibir Koko. Tapi, Rena tak peduli. Ia tak ingin melepaskannya.
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Comments
Post a Comment