Dinuri pernah ditertawakan oleh teman-temannya saat mengajak untuk ikut kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) kopi. Pagawean (Kerjaan-Sunda) yang buang-buang waktu saja kata teman-temannya. SL-PHT itu kegiatan yang cuma kumpul-kumpul, nyanyi-nyanyi, main-main terus tepuk tangan ejek temannya daripada buang-buang waktu percuma mendingan nyangkul di kebun. Cemoohan itu tidak membuat tekad Dinuri surut. Bahkan saking tidak adanya lagi petani yang mau ikut
SL-PHT, Dinuri sampai tega memasukkan anak perempuannya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD untuk menjadi peserta SL-PHT di kelompoknya.
SL-PHT, Dinuri sampai tega memasukkan anak perempuannya yang masih duduk di bangku kelas 3 SD untuk menjadi peserta SL-PHT di kelompoknya.
Itu pengalaman Dinuri petani kopi asal Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung yang jatuh bangun sebelum menjadi petani dan pengusaha yang sukses seperti saat ini di hadapan para Pemandu Lapang SL se-Indonesia yang tengah melaksanakan Pertemuan Ikatan Pemandu Lapang Perkebunan Indonesia (IPLPI) di Topas Galeria Hotel-Bandung awal bulan Mei 2011.
Cerita Dinuri membuat sekitar 100 orang pemandu peserta pertemuan IPLPI seperti tersihir dan terpesona. “Saya tidak akan lupa akan jasa para pemandu lapang yang telah menginspirasi dan memotivasi saya hingga bisa seperti ini”, ujar Dinuri dalam. “Oleh sebab itu sampai kapanpun saya selalu akan ingat dan hormat terhadap para pemandu lapang”, tambah Dinuri.
Bangkit karena kegagalan
Sebelum menjadi petani kopi yang sukses, Dinuri dulunya adalah petani sayuran di daerah Pangalengan di punggung Gunung Malabar. Harga sayuran yang tidak menentu dan sering jatuh saat panen membuat Dinuri nekat mengganti usahanya. Kebun sayurnya diganti dengan tanaman kopi yang pada saat itu dianggap aneh oleh teman-temannya.
“Mengganti kegiatan budidaya dari bertanam sayuran ke tanaman perkebunan seperti kopi adalah pilihan yang sulit”, ujar Dinuri. “Jika menanam sayuran dalam 2 sampai 4 bulan sudah panen, tapi kalau tanam kopi setelah tiga tahun baru menghasilkan”, tambahnya.
Akan tetapi tekadnya sudah bulat, bersama dengan 7 orang temannya pada tahun 2000 Dinuri Cs mengganti tanaman sayurannya dengan tanaman kopi Arabika. Tanpa pengalaman, keterampilan, dan pengetahuan tentang perkopian Dinuri mulai menekuni usaha budidaya kopi. Untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilannya Dinuri tak segan-segan untuk belajar tentang perkopian pada petani kopi di Kintamani-Bali dan ke petani kopi sukses daerah lainnya.
Kemajuan sebagai petani kopi mulai dirasakan oleh Dinuri saat dia mempraktekkan langsung semua pelajaran dan pengalamnya saat mengikuti kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu pada tahun 2006 yang diselenggarakan oleh Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat.
Cemoohan dari teman petani saat mengikuti SL-PHT menjadi penyemangat untuk membuktikan kebenaran pilihannya. Dinuri yakin pengalamannya yang diperoleh dengan cara belajar melalui memahami dan melakukan langsung adalah sebuah pengalaman dan hasil berharga dalam mengembangkan budidaya tanaman kopinya.
Buah Hasil Ketekunan
Tanaman kopi yang ditanam oleh Dinuri dan 7 orang temannya mulai memberikan hasilnya. Kopi yang dipelihara dengan kesungguhan dengan menerapkan prinsip-prinsip PHT, yaitu budidaya tanaman sehat, pengamatan tanaman dan hama penyakit serta menerapkan prinsip keseimbangan ekosistem dengan memelihara musuh alami, dan menjadikannya sebagai ahli PHT membuat budidaya kopi yang dilakukannya enjadi sangat efisien. Tanpa menggunakan pupuk kimia, tanpa menggunakan pesisida kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit ternyata mampu menghasilkan buah kopi yang kualitasnya sangat prima dan pada taraf produktivitas yang tinggi. “Semenjak saya ikut SL-PHT, saya hanya mempergunakan kompos untuk menyuburkan tanaman dan menggunakan Agen Pengendali Hayati (APH) kalau ada serangan OPT”, ungkap Dinuri. Dulu orang yang ikut dengan saya hanya 7 orang, sekarang ada 67 orang yang merupakan gabungan dari 4 Kelompok Tani Rahayu yang ada di Desanya.
Usaha Dinuri dan kelompoknya tidak hanya sampai disitu saja, kopi luwak yang saya hasilkan beda dengan petani kopi di Kintamani Bali. “Kopi luwak yang kami hasilkan dari luwak yang dikandangkan dan selalu dijaga kebersihannya”, jelas Dinuri.
Kesuksesan yang telah diraihnya tidak membuat dia menjadi tinggi hati dan mabuk kepayang. Dengan rendah hati Dinuri menceritakan bahwa saat ini produk kopi luwak dengan Merek Kopi Luwak Malabar sudah bisa dibeli di perusahaan penerbangan Nasional. “Kopi luwak ini bisa Bapak dan Ibu beli kalau terbang dengan Garuda”, katanya.
Dinuri juga menciptakan pengalaman saat memasukkan kopinya yang dihargai sampai 2 juta rupiah per-kilogramnya. “Pertama, saya menjual dengan merek kelompok Tani hasilnya kurang laku, tapi setelah saya buat Perusahaan tersendiri, sekarang kopi luwak saya penjualannya terus menaik”, jelas Dinuri.
Pengalaman Dinuri menjadi petani kopi sukses yang dimulai dari kegiatan SL-PHT tentu saja menjadi inspirasi dan motivasi besar bagi para pemandu lapang yang hadir dalam pertemuan tersebut. Inspirasi besar itu akan mereka bawa pulang sebagai oleh-oleh yang berharga dari hasil pertemuan IPLPI di Bandung untuk kemudian mereka terapkan di daerahnya masing-masing. Teriakan Semangat, PHT Yes, Pestisida No kembali akan mereka gunakan. (Dud).
( Wednesday, 24 August 2011 10:44 )
http://ditjenbun.deptan.go.id/perlindungan/index.php?option=com_content&view=article&id=127:petani-kopi-sekolah-lapang-pengendalian-hama-terpadu-sl-pht-cemoohan-yang-jadi-kekaguman&catid=15:home
Comments
Post a Comment