"Success isn't always about greatness it's about consistency, consistent hard work gains success and greatness will come "
Saya menemukan kedai kopi ini secara tidak sengaja, beberapa tahun lalu saat harus menemui pelanggan di utara Jakarta. Namun eksistensi kedai kopi yang sekarang semakin besar ini membuat saya angkat topi sekaligus diam-diam bangga akan keberhasilannya.
Saya biasa memanggilnya 'engkoh' tanpa tahu nama sebenarnya hingga sekarang. Dulu saat kedai kopinya belum seramai sekarang, sang engkoh masih bisa bercakap-cakap dengan pelanggannya. Dia selalu melakukan semua sendiri tanpa ada yang membantu. Mulai dari menjerang ceret kopi, menyeduh, hingga meracik dan mencampur susu. Dari dulu kedai ini hanya menyajikan 2 pilihan kopi, yaitu kopi hitam atau kopi susu. Kopi susunya pun tidak neko-neko, hanya kopi hitam yang dicampur susu kental manis merek carnation.
Namun jangan pernah tanya bagaimana rasa kopinya.
Berada di dalam kedai kopi ini, sesaat membuat saya seakan terlempar kedalam sebuah komik silat. Sebab bagaimana tidak, kedai ini dulu hanya berisi 3 pasang kursi dan meja kayu sederhana dan dapur dengan tungku yang penuh dengan ceret-ceret tembaga berisi kopi yang tengah di seduh.
Si engkoh selalu memakai kostum kerja yang hingga kini tidak pernah berganti, kaos oblong putih, celana bahan hitam khas pendekar, lengkap dengan ikat kepala. Sementara radio transistor tua di sudut meja dapur tidak pernah berhenti memutarkan lagu-lagu tua mandarin.
Rasa pahit, pekat, dan aroma kopi yang lama dijerang diatas tungku, selalu mampu menyengat lidah saya, sekalipun kopi tersebut sudah tercampur susu.
Kopi si engkoh juga ada yang disajikan dalam bentuk dingin, tapi jangan langsung membayangkan tampilan segelas frappe kopi seperti di mall. Kopi dingin si engkoh, ya hanya kopi hitam atau kopi susu yang diberi es batu, tidak lebih...:)
Namun entah pekatnya rasa kopi atau cara menyeduhnya, sekalipun es batu tersebut mencair, cita rasa kopinya tidak hilang hingga tetes terakhir.
Eksistensi rasa kopi nya tidak pernah berubah hingga sekarang. Rasa yang tidak akan pernah bisa tertandingi dengan maraknya gerai kopi modern yang menjanjikan berbagai fasilitas dan kenyamanan.
Kini hampir 5 tahun sejak pertama kali saya menemukan kedai ini, banyak perubahan yang terjadi. Kedai kopi ini semakin ramai dan selalu dipadati pengunjung dari jam 6.00 pagi hingga menjelang petang.
Namun tidak demikian dengan si engkoh, dia tetap konsisten dengan kostum pendekarnya, menjerang dan menyeduh kopi sendiri tanpa bantuan banyak pelayan yang sekarang dimilikinya dan hanya menyajikan 2 jenis pilihan kopi seperti pertama kali saya menemukan kedai kopi ini.
Dulu saat si engkoh masih sempat bercakap-cakap, saya pernah mendengar seorang tamu bertanya kepadanya
"koh, saya kemarin sudah beli merek kopi yang sama dengan kopi disini, tetapi begitu diseduh kenapa rasanya beda? Tidak seperti kopi disini?"
Si engkoh menanggapi dengan santai dan menjawab,
"Oh, jelas beda, kan beda tangan."
Saya yang mendengar jawabannya termasuk tamu yang bertanya saat itu langsung tertawa.
Dulu jawaban ringan si engkoh tidak membekas apapun dalam pikiran saya. Tapi sekarang dalam kalimat yang diucapkannya, saya seakan diajarkan mengenai arti sebuah konsistensi.
Konsistensi dari sebuah pekerjaan yang mungkin tidak terlihat secara kasat mata, namun dapat dirasakan hasilnya.
Comments
Post a Comment